MF. Arrozi Adhikara
Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Esa Unggul
Pasar modal didefinisikan sebagai pasar
untuk berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang
bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri,
baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun
perusahaan swasta (Suad, 1996). Pasar modal sebagai wahana sektor
keua-ngan di luar perbankan mempunyai daya tarik, pertama, diharapkan
menjadi sarana alternatif untuk memperoleh penghimpunan dana secara
cepat dan murah dari investor maupun kreditor melalui investasi berupa
aktiva finansial seperti pembelian saham, obligasi, warrant, opsi, dan
serti-fikat danareksa. Kedua, pasar modal memung-kinkan para investor
mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan preferensi
risikonya sehingga investor memungkinkan untuk melakukan diversifikasi
investasi, membentuk portfolio (gabu-ngan dari berbagai investasi)
sesuai dengan risiko yang investor tanggung serta tingkat keuntungan
yang mereka harapkan. Dalam keadaan pasar modal yang efisien, hubungan
yang positif antara risiko dan keuntungan diharapkan akan terjadi (Suad,
1996). Ketiga, investasi dalam aktiva finan-sial mempunyai daya tarik
likuiditas yaitu sekuritas dapat diperjualbelikan dengan segera dan
investor dapat melakukan reposisi investasi sekuritasnya setiap saat.
Misalnya, investor melakukan investasi sekuritas dalam bidang food and
beverage hari ini, kemudian melakukan penggantian sekuritas dengan
investasi dalam bidang industri perbankan atau industri tobacco pada
keesokan harinya, lusa, ming-gu depan, atau bulan depannya. Dengan pasar
modal ini, berarti semakin terbukanya kesempatan bagi investor untuk
melakukan diversifikasi pada in-vestasi yang dianggap paling layak.
Pasar modal Indonesia termasuk emerging
market, yaitu pasar yang diindikasikan sebagai pasar modal yang masih
lemah (Prabowo, 2000). Ciri pasar ini adalah: pertama, investor
melakukan reaksi terhadap informasi secara lugu (naive) dan tidak
canggih (unsophisticated). Investor mempu-nyai kemampuan terbatas dalam
mengartikan, me-nganalisis, dan menginterpretasikan informasi yang
mereka terima. Karena itu, investor cenderung menggunakan rumor,
spekulatif, dan berperilaku mass behaviour. Investor yang bergabung
dalam suatu massa, akan kehilangan rasionalitas kolektif, karena
penentuan harga saham dalam komoditas perdagangan saham merupakan
manifestasi dari faktor psikologis dan emosi investor (Sjahrir, 1995;
229). Akibatnya, seringkali investor melakukan pe-ngambilan keputusan
yang salah sehingga sekuritas bersangkutan dinilai secara tidak tepat
dan sering-kali pasar tampaknya tersesat (fooled) oleh infor-masi yang
harus diinterpretasikan. Kedua, Seku-ritas di pasar modal tergolong
dalam risky assets yaitu aktiva keuangan yang beresiko dan investor
tidak tahu dengan pasti hasil yang akan dipe-rolehnya. Investor hanya
dapat memperkirakan berapa keuntungan yang diharapkan dari
invest-tasinya, dan seberapa jauh kemungkinan hasil yang sebenarnya
nanti akan menyimpang dari hasil yang diharapkan. Oleh karena itu,
assets ini umumnya memberikan return lebih tinggi, apakah return itu
positif atau negatif. Karenanya, wajar bila investor mempersoalkan
perlindungan dari risiko kerugian tersebut. Ketiga, peranan laporan
keuangan seba-gai pendukung pengambilan keputusan investasi belum
digunakan secara optimal dan penggu-naannya relatif kecil di pasar modal
Indonesia (Prabowo, 2000). Hal ini terjadi karena investor ber-perilaku
sebagai penggoreng saham dalam mengambil taking profit melalui analisis
teknikal untuk memperhatikan capital gain, dan menunjukkan investor
menyukai investasi jangka pendek, perilaku spekulatif, serta melakukan
strategi aktif dengan memperhatikan faktor makro seperti isu, rumor,
politik, konspirasi, insider trading, regulasi, anomali pasar, dan
lain-lain. Kecenderungannya adalah laporan keuangan tidak dimanfaatkan
de-ngan baik dan hanya sepintas melihat kejadian perusahaan pada
tindakan kebijakan khusus seperti corporate action. Keempat, motivasi
dalam mencari return terjadi pergeseran (Paimpo dan Didi, 2000).
Pergeseran ini disebabkan pengalaman melakukan investasi berdasarkan
rumor me-nyebabkan kerugian. Sedangkan melalui analisis fundamental,
investor dapat mempelajari seluruh aspek fundamental perusahaan seperti
performance perusahaan, laporan keuangan, prospek emiten di masa datang,
aksi korporasi mulai dari rencana ekspansi usaha dan terutama rencana
pembagian dividen, itu yang diharapkan investor (Tim BEJ, 2006).
Mencermati hal tersebut di atas,
menunjukkan bahwa proses investasi tergantung pada psikologi massa dan
cenderung menggunakan rumor untuk bertindak spekulatif. Indikasinya
ada-lah investor bersikap unsophisticated serta naive (Prabowo, 2000)
dan menunjukkan bahwa investor cenderung tidak mempunyai pemahaman
penge-tahuan financial mengenai signal pengungkapan informasi perusahaan
karena mempunyai kemam-puan cognitive terbatas (limitation cognitive)
dalam mengartikan dan menginterpretasikan informasi yang mereka terima.
Akibat hal tersebut diatas akan memberikan konsekwensi negatif, yaitu:
pertama, menyesatkan investor untuk merevisi keyakinan (belief) awal
tentang expected values yang sudah ditentukannya dengan interpretasi
informasi akun-tansi tersebut; kedua, memberikan perilaku in-vestor
menjadi impatience, loss control, dan lebih banyak bersikap menuruti
kata hati (impulsive) karena mempunyai persepsi salah tafsir pada obyek
yang diinterpretasikan. Sehingga keputusan inves-tasi akan banyak
mengalami risiko yang tinggi; ketiga, kesalahan dalam melakukan prediksi
ter-hadap subyektifitas return dan risk; keempat, me-nyesatkan investor
dalam pengambilan keputusan yang bersifat rasional karena investor
mengambil keputusan yang salah karena sekuritas bersang-kutan dinilai
secara tidak tepat.
Proses pengambilan keputusan investasi
di pasar modal bagi investor bersifat sophisticated dan rasional,
artinya investor akan memilih kesempatan investasi yang memberikan
utilitas yang diharapkan tertinggi (maksimalisasi utilitas) serta
memberikan kesejahteraan kepadanya (Scott, 2003). Maksi-malisasi
utilitas menunjukkan tingkat subyektifitas return yang diharapkan dari
kesempatan investasi pada saham individu maupun portofolio saham serta
tergantung pada kapasitas cognitive masing-masing investor sesuai dengan
preferensi investor. Investor yang sophisticated harus mempunyai
kemampuan dalam pemikiran, pertimbangan, imajinasi serta mempunyai
kecakapan dalam pemrosesan infor-masi, menerapkan pengetahuan investasi,
dan melakukan perubahan preferensi investasi. Proses ini merupakan
proses cognitive yang dilakukan investor melalui memori, attention,
persepsi, aksi, pemecahan masalah, mental imagery, human infor-mation
processing, dan keyakinan (beliefs) yang kuat atas investasi tersebut
(Wikipedia, 2008).
Hal diatas diperlukan investor untuk
meng-alokasikan dananya ke dalam tiap-tiap sekuritas yang dipilih dalam
investasinya. Tujuannya adalah melakukan estimasi return dan risk dari
tiap-tiap sekuritas investasi. Tiap-tiap sekuritas dibandingkan nilai
return dan risknya kemudian diurutkan nilai return dan risk dari yang
tertinggi sampai dengan yang terendah (Suad, 1996:110). Hal ini
digunakan investor untuk menetapkan keyakinan awal (initial beliefs)
pemilihan sekuritas yang ditetapkan sebagai kandidat dalam pembentukan
portofolio investasi berdasarkan preferensi return dan risk. Proses ini
disebut mental accounting dan pelaksanaannya menggunakan anchoring atau
narrow framing, yaitu pengungkapan suatu fakta dalam investasi pada
return/gains dan risk/losses (Tversky dan Kahneman, 1981; Thaler, 1985;
Barberis dan Huang, 2001). Hal ini menunjukkan preferensi in-vestor
terhadap return dan risk dari sekuritas.
Barberis dan Huang (2001)
mempertimbangkan bentuk mental accounting, yaitu investor peduli
mengenai return/gains dan risk/losses dalam nilai saham individu, serta
investor peduli mengenai return/gains dan risk/losses dalam nilai
seluruh portofolio. Perilaku investasi tersebut me-nunjukkan investor
mempunyai dua kemungkinan sikap, pertama, sikap preferensi risk untuk
menerima resiko (risk seeker), sikap menghindari resiko (risk averter),
ataukah sikap netral (risk neutral). Kedua, sikap preferensi untuk
menerima return dalam bentuk capital gain, deviden, ataukah keduanya
yaitu capital gain dan deviden (Djunaidi, 1990). Untuk memperlihatkan
perilaku investor sebagai proksi investor dalam menyikapi return dan
risk tersebut, maka framing digunakan untuk men-jelaskan preferensi
investor. Sehingga mengha-silkan sikap yang cenderung menerima
gains/return dalam frame positif ataukah cenderung menerima losses/risk
dalam frame negatif ataukah menyikapi keduanya secara seimbang.
Namun dalam pengambilan keputusan di
pasar modal dalam kondisi yang under-uncertainty sikap irrasisional bagi
investor lebih cenderung digunakan karena terdapat kemungkinan investor
akan mendapatkan abnormal return. Beberapa penelitian menemukan bahwa
asumsi rasionalitas sering dilanggar karena decision framing yang
diadopsi oleh pembuat keputusan dan frame yang diadopsi tergantung pada
formulasi masalah yang dihadapi, aspek cognitive, norma, kebiasaan, dan
karakteristik pengambil keputusan itu sendiri. Frame yang diadopsi
tergantung pada fenomena cognitive investor dalam menentukan dan
mem-pengaruhi keputusannya (Tversky & Kahneman, 1981) yang
disebabkan oleh informasi yang tersedia dan bagaimana informasi
diinterprestasikan.
Mental Accounting
Konsep mental accounting merujuk pada
cara investor membingkai (frame) keputusan keua-ngannya dan mengevaluasi
keputusan (outcomes) investasinya (Thaler, 1985) serta merujuk pada
cara individu memutuskan assets sekarang dan masa datang menjadi
terpisah, bagian-bagian yang tidak dapat dioperkan (Nofsinger, 2005).
Konsep ini me-nyediakan suatu deskripsi luas melalui proses kognitif
dimana orang-orang merasa, mengkatego-risasi, mengevaluasi, dan
mengikutsertakan dalam aktivitas keuangan. Mental accounting mempunyai
pokok isi individu menentukan tingkat utilitas yang berbeda pada
tiap-tiap kelompok asset, yang mana mempengaruhi keputusan konsumsi
mereka dan perilaku-perilaku lainnya. Konsep ini menyediakan deskripsi
melalui proses kognitif dimana individu merasa, mengkategorisasi,
mengevaluasi, dan mengikutsertakan dalam aktivitas keuangan dengan
bentuk mental accounting adalah kategorisasi dan pelabelan.
Manifestasinya adalah individu menge-lompokkan pengeluaran dalam
anggaran (contoh: makanan, perumahan), distribusi kesejahteraan dalam
rekening (contoh: pensiun, asuransi), dan membagi sumber penghasilan
dalam kategori (contoh: penghasilan regular, uang yang menang dari
loterei, tabungan, investasi). Proses akuntansi dari mental accounting
menyediakan tujuan pen-ting, seperti keputusan pemfasilitasan yang
meng-gunakan dana kita, dan penyediaan fungsi pengen-dalian diri melalui
aturan pengeluaran ke dalam penempatan dana di dalam ambang batas
accounts.
Mental accounting investor memperhatikan
pada gains dan losses (Barberis dan Huang, 2001). Pelaksanaan mental
accounting dari investor de-ngan menggunakan narrow framing, yaitu
mem-bingkai (frame) keputusan keuangannya dengan mengungkapkan perhatian
pada gains/return atau losses/risk dan mengevaluasi keputusan
(outcomes) investasinya, sehingga individu membingkai secara subyektif
suatu transaksi dalam pikirannya untuk menentukan utilitas yang mereka
terima. Hal ini mencerminkan suatu perhatian pada sumberdaya non
konsumsi dari utility, dimana pengalaman alamiah melebihi narrow framed
gains and losses. Selanjutnya, investor mempertimbangkan dua ben-tuk
mental accounting, pertama, investor peduli mengenai gains and losses
dalam nilai saham individu (akuntansi saham individu), dan kedua,
investor peduli mengenai gains and losses dalam nilai seluruh portfolio
(akuntansi portofolio), dan menunjukkan bahwa bentuk mental accounting
mempengaruhi harga assets dalam suatu cara yang signifikan. Perilaku
investasi tersebut menunjukkan investor mempunyai dua kemungkinan sikap,
pertama, sikap preferensi risk untuk menerima resiko (risk seeker),
sikap menghindari resiko (risk averter), ataukah sikap netral (risk
neutral). Kedua, sikap preferensi untuk menerima return dalam ben-tuk
capital gain, deviden, ataukah keduanya yaitu capital gain dan deviden
(Djunaidi, 1990). Untuk memperlihatkan perilaku investor sebagai proksi
investor dalam menyikapi return dan risk tersebut, maka framing
digunakan untuk menjelaskan prefe-rensi investor tersebut. Sehingga
menghasilkan sikap yang cenderung menerima gains/return dalam frame
positif ataukah cenderung menerima losses/ risk dalam frame negatif
ataukah menyikapi kedua-nya secara seimbang.
Model asumsi mengenai preferensi
investor (Markowitz, 1952) hanya didasarkan pada expected return dan
risk dari portofolio yang secara implisit menganggap investor mempunyai
fungsi utilitas yang sama. Tetapi pada kenyataannya, tiap-tiap investor
mempunyai fungsi utilitas yang berbeda (Hartono, 2000:192-193). Jika
preferensi investor terhadap portofolio berbeda karena investor
mem-punyai fungsi utilitas yang berbeda, portofolio optimal untuk
masing-masing investor akan dapat berbeda. Model Markowitz tidak
mempertimbangkan hal ini, karena fokusnya terletak pada nilai portofolio
dengan resiko terkecil untuk expected return tertentu. Tetapi
preferensi investor berbeda-beda. Investor yang risk averse akan memilih
sesuai tang-gapan model Markowitz, sedangkan investor yang risk seeker
akan memilih resiko yang tinggi dengan implikasi akan mendapatkan return
yang tinggi pula. Pemilihan portofolio sesuai dengan preferensi
in-vesttor, merupakan portofolio yang efisien yang masih berada di
efficient set. Portofolio mana yang akan dipilih oleh investor
tergantung dari fungsi utilitasnya masing-masing. Portofolio optimal
untuk tiap-tiap investor terletak pada titik persinggungan antara fungsi
utilitas investor dengan efficient set.
Berdasarkan preferensi, investor
menggunakan beberapa aksioma dalam proses pengambilan kepu-tusan
investasi berdasarkan model utilitas yang diharapkan (expected utility
model) (Suad, 1996) yang merupakan model yang mendasari pemilihan
investasi pada portofolio dalam konteks mean-variance model. Expected
utility model secara historis memberikan model normatif dan deskriptif
untuk pembuatan keputusan yang mengandung risiko. Teori ini beranggapan
bahwa pembuat kepu-tusan adalah seorang yang rasional. Pembuat
kepu-tusan dianggap mampu memproses informasi dengan sempurna dalam
menentukan pilihan yang terbaik. Asumsi rasionalitas juga mewajibkan
adanya konsistensi dan koherensi dalam keputusan yang dibuat. Aksioma
pengambilan keputusan inves-tasi tersebut yaitu:
- Investor mampu memilih berbagai alternatif dengan menyusun peringkat
dari berbagai alternatif-alternatif sehingga bisa diambil keputusan.
- Setiap peringkat alternatif-alternatif tersebut bersifat transitif.
Artinya, kalau investasi A lebih disukai dari pada B, dan B lebih
disukai dari pada C, maka A tentu lebih disukai dari pada C.
- Para pemodal akan memperhatikan risiko alter-natif yang
dipertimbangkan, dan tidak mem-perhatikan sifat alternatif-alternatif
tersebut. Sebagai misal, investor tidak akan memper-timbangkan
apakah suatu kesempatan inves-tasi lebih padat modal ataukah lebih padat
karya.
- Para investor mampu menentukan certainty equivalent dari setiap
investasi yang tidak pasti. Certainty equivalent suatu investasi
me-nunjukkan nilai pasti yang ekuivalen dengan nilai pengharapan
dari investasi tersebut.
Keempat aksioma di atas bisa digunakan
untuk menyusun fungsi utilitas dari investor sebagai dasar untuk model
sikap investor terhadap risiko, dengan tujuan untuk memaksimumkan indeks
utilitas yang diharapkan pada income (discounted interest rate).
Penyusunan fungsi utilitas digunakan untuk memilih investasi yang
mempunyai unsur ketidakpastian. Investor akan memilih
investasi-investasi berdasarkan return yang diharapkan pada tingkat yang
maksimal atau tinggi. Investor yang satu dengan investor yang lain
mungkin mempunyai fungsi utilitas yang berbeda, dan karenanya bisa
memilih kesempatan investasi yang berbeda atau-kah sama. Fungsi utilitas
tersebut bersifat indivi-dual, artinya bisa berbeda antara pemodal yang
satu dengan pemodal lainnya. Perbedaan fungsi utilitas investor dapat
digambarkan melalui indiffe-rence curve bahwa investor tidak akan merasa
berbeda sepanjang investor berada pada kurva ter-sebut. Tingkat
utilitas investor akan berbeda satu sama lain pada tingkat resiko yang
sama, tetapi investor akan lebih menyukai untuk memilih tingkat utilitas
pada return yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan preferensi
risiko bagi investor (Suad, 1996:118).
Konsep mental accounting sama dengan
yang digunakan dalan teori prospek (Kahneman dan Tversky, 1979) dan
banyak mengadopsi terori ini sebagai fungsi nilai dalam analisisnya.
Teori prospek menggambarkan bagaimana investor membingkai (frame) dan
menilai suatu keputusan dalam keti-dakpastian. Pertama, investor
membingkai (frame) pilihan dalam bentuk keuntungan dan kerugian
potensial relatif terhadap suatu titik referen spesifik. Kedua, Investor
menilai keuntungan atau kerugian berkenaan pada suatu fungsi bentuk-S
sepeti dalam gambar 1. Gunanya, sebagai penjelasan alternatif dalam
pengambilan keputusan. Elemen utama teori prospek adalah fungsi nilai
bentuk-S yang concave (risk averse) dalam domain keuntungan dan convex
(risk loving) dalam domain kerugian, keduanya mengukur relatif terhadap
titik referen yang bersifat netral dengan nilai sebesar 0. Mental
accounting menyediakan suatu fondasi untuk cara dimana pem-buat
keputusan merancang titik referen pada accounts yang menentukan
keuntungan dan keru-gian. Ide utama adalah pembuat keputusan cede-rung
memisahkan tipe berbeda dari spekulasi kedalam account terpisah, dan
kemudian mempergunakan teori prospek pada tiap-tiap account oleh
pengabaian interaksi yang memungkinkan.
Berkaitan dengan perilaku pengambilan
keputusan Investor di Indonesia, bahwa pada framing positif perilaku
orang Indonesia dapat berbeda dengan orang asing. Peneliti menarik
pandangan bahwa hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya
yaitu, perbedaan budaya sehingga menyebabkan perbedaan sikap dalam
pengambilan keputusan investasi, serta keterbiasaan mene-rima informasi
orang Indonesia dengan framing positif yang dapat mempengaruhi
kepribadian, perilaku orang, dan persepsi seseorang.
Daftar Pustaka
Barberis, Nicholas, and Huang, Ming, “Mental Accounting, Loss Aversion,
and Individual Stock Returns”, The Journal of Finance, Vol. LVI, No. 4,
August, 2001.
Djunaidi, A., “Investasi Melalui Instrumen Pasar Modal: Mengapa Dividen Lebih Penting”, In-fo Pasar Modal, Juni, Jakarta, 1990.
Gudono dan Hartadi, Bambang, „Apakah Teori Prospek Tepat untuk Kasus di Indonesia? Sebuah Replikasi Penelitian Tversky dan
Kahneman“, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 1, No. 1, Januari 1998.
Hartono, M., Jogiyanto, “Teori Portofolio dan Ana-lisis Investasi”, Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta, 2000.
Harvey, J.T., “Long Term Exchange Rate
Movements: The Role of The Fundamentals In Neoclasical Models of
Exchange Rates”, Journal of Economics Issue, 30(2), 1996.
Kahneman, D. and A. Tversky, “Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk”, Econo-metrica, March, 1979.
Karim, J; P.E. Johnson, and R.E.
Berryman, “Detecting Framing Effects in Financial Statements”,
Contemporary Accounting Research, 12(1), 1995.
Lim, Sonya, SeongYeon, “Do Investor
Integrate Losses and Segregate Gains? Mental Accounting and Investor
Trading Decisions”, Working Paper, SSRN, 2004.
Markowitz, H.M., “Portofolio Selection”, Journal of Finance, March, 1952.
Nofsinger, John R., “The Psychology of Investing”, Pearson Education, Second Ed., Upper Saddle River, New Jersey, 2000.
Paimpo, Didi, “Bukan waktunya lagi mengandalkan rumor”, Media Akuntansi, No. 10, Tahun VII, Juni, Jakarta, 2000.
Prabowo, Tommy, ”Mengharapkan Laporan Keua-ngan Plus”, Media Akuntansi, No. 10, Thn. VII, Juni, Jakarta, 2000.
Prabowo, Tommy, “Dissemination of Information di Pasar Modal”, Media Akuntansi, No. 10, Thn. VII, Juni, Jakarta, 2000.
Schoemaker, P., “The Expected Utility
Model : Its Variance, purposes, evidence and limita-tions”, Journal of
Economic Literature 20 (June),1982.
Scott, William R., “Financial Accounting Theory”, 3rd ed, Pearson Education Canada Inc., Toronto, 2003.
Sjahrir, “Pasar Modal Indonesia”, Cetakan pertama, Intermedia Jakarta, 1995.
Suad, Husnan, “Dasar-Dasar Teori Portfolio”, Edisi Kedua, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1996.
Thaler, Richard H., “Mental Accounting and Consumer Choice”, Marketing Science 4, 1985.
Tim BEJ, “Berburu Dividen, Lihat Dulu
Jadwalnya – Ada faktor psikologis, menjelang pembagian dividen harga
saham akan naik”, Republika, Senin 17 April 2006.
Tversky, A., dan D. Kahneman, “The Framing of Decisions and The Psychology of Choice”, Science, 211 (30), 1981.
White, R.A.; P.D. Harrison, and A.
Harrell, “The Impact of Income Tax Witholding on Taxpayer Compliance:
Further Empirical Evidence”, The Journal of the American Taxation
Association, No. 3, 1993.