Jurnal & Artikel Ilmiah

DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP INDUSTRI PROPERTI DI INDONESIA

Ari Anggarani Winadi Prasetyoning Tyas
Fakultas Ekonomi Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
ari.anggarani@gmail.com

Abstrak
Krisis keuangan yang melanda di semua negara sangat berpengaruh terhadap sebagian perusahaan dan industri. Secara nasional akibat dari resesi ekonomi AS tersebut sangat nampak terjadi. Hampir semua harga saham rontok melebihi 10 persen. Langkah - langkah antisipasi terhadap krisis keuangan di AS tersebut tentunya memiliki dampak yang berarti bagi dunia usaha di Indonesia termasuk dunia property yang akan mengalami penurunan pembayaran kredit. Sektor properti memiliki arti yang penting dalam pembangunan perekonomian nasional, yakni dalam rangka penyediaan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat dan dalam rangka penyerapan tenaga kerja. Prediksi bisnis properti pada 2009 akan kelebihan penyediaan. Namun, hal itu tidak akan menyebabkan penurunan harga. Kelebihan penyediaan itu diperkirakan akan menekan harga. Kondisi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir dengan terus naiknya BI rate, membuat beberapa bank terlihat lebih berhati - hati dalam memberikan kredit dan sebagai dampak lanjutan para konsumen juga khawatir dengan tingginya suku bunga. Tetapi dengan berbekal pengalaman tahun 1998 kemarin, kita memang harus cepat mengantisipasi jangan sampai kondisi krisis tersebut memperparah perekonomian Indonesia.
Kata Kunci: Krisis Keuangan Global, Industri, Properti

Pendahuluan
Walaupun krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) sudah di bailout oleh Kongres AS. Namun perkembangan ekono­mi dunia masih dibayang - bayangi hantu resesi. Krisis keuangan AS dan global ini diperkirakan mirip dengan depresi besar ekonomi AS di tahun 1930-an. (Ilham, 2008)
Kekacauan di Bursa saham, Lemba-ga Keuangan, kekacauan penyaluran kredit dan gejolak investasi portofolio (saham, obligasi dan surat utang lainnya). Melon-jaknya harga minyak mentah dunia dan tidak stabilnya harga komoditas yang dipicu secara sistematis oleh tekanan nilai mata uang Euro terhadap Dollar AS. (Ilham, 2008)Secara nasional akibat dari resesi ekonomi AS tersebut sangat nanpak ter­jadi. Ditandai dengan suspendnya Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga penutupan terakhir IHSG pada level 1.451 point. Hampir semua harga saham rontok mele­bihi 10 persen.
Walaupun investor yang memiliki saham di BEI berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sekitar 64% pada Juni 2007 adalah asing. Tetapi dampak ekonomi negatif akan terasa apa-bila para investor tersebut mengalihkan dananya ke Bursa di tempat lain.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semula relatif menguat, namun dengan kondisi kepanikan keuangan global. Ru­piah kemungkinan akan terpengaruh sentimen negatif dan bisa terdepresiasi hingga di atas 3 persen.
Dalam perdangan kurs rupiah ditu-tup pada level Rp. 9.445 per Dollar AS. De-ngan masuknya hot money kedalam negeri struktur fundamental ekonomi akan bisa rapuh dan krisis keuangan dalam negeri bi­sa terjadi.
Angka inflasi pada Januari - Sep­tember tahun 2008 lebih tinggi dari yang diperkirakan pemerintah yaitu mencapai 10,47 persen. Proyeksi pertumbuhan ekono­mi direvisi menjadi 6 persen. BI rate dinaik-kan menjadi 9,5 persen.
Langkah - langkah antisipasi ter-hadap krisis keuangan di AS tersebut ten-tunya memiliki dampak yang berarti bagi dunia usaha di Indonesia termasuk dunia property yang akan mengalami penurunan pembayaran kredit bermasalah (non perfor­ming loan/NPL) di BI.
Kepanikan terhadap volatilitas ke­uangan global akibat krisis ekonomi AS bermula dari krisis perumahan di AS dipicu oleh macetnya kredit dari para debitor de-ngan profil gagal bayar tinggi (subprime mortgage).
Kredit ini ditandai dengan penge-naan suku bunga yang lebih tinggi dari nor­mal dan penyalurannya cenderung kurang hati - hati. Keuangan si peminjam tidak di-analisis secara seksama.
Macetnya kredit membuat harga surat utang berbasis subprime mortgage yang nilainya sudah berlipat - lipat jatuh drastic.
Akibatnya, puluhan bank penyalur kredit maupun perusahaan investasi yang memegang surat utang berbasis subprime mortgage pun merugi. Setelah Bear Sterns, Northern Rock, Fannie Mae, Citigroup dan Freddie Mac, kini giliran Lehman Brother mengalami kebangkrutan.
Kondisi ini bisa juga akan akan terjadi di Indonesia. Jika kondisi property diIndonesia mengalami goncangan. Untuk tahap awal goncangan itu sudah dipicu dengan ditandai oleh naiknya BI rate.
Ketika kredit kontruksi dan kredit properti yang berbunga tinggi maka ting-kat pengembalian dari debitur akan me­ngalami gangguan.
Apalagi ditambah dengan kondisi daya beli masyarakat yang menurun hing­ga bisa menyebabkan macetnya pemba­yaran kredit perumahan baik RSh maupun real estate. Maka kemungkinan krisis eko­nomi di Indonesia akan terjadi mirip tahun 1997 - 1998.
Pertumbuhan sektor properti akan menjadi stimulan bagi perekonomian na-sional. Karena pertumbuhan sektor pro­perti terkait erat dengan meningkatnya pendapatan masyarakat.
Selain itu, perkembangan sektor properti menimbulkan efek berantai bagi pertumbuhan sektor industri lainnya dan penyerapan tenaga kerja. Jika kondisi sek­tor properti mengalami crash maka dikha-watirkan pasar properti akan mengalami kerugian besar.
Dampak selanjutnya perekonoian akan ikut kolaps, dan sulit sekali untuk membangun kembali sektor properti yang lebih stabil. Dalam menyikapi ini tentunya peran pemerintah sangat dinantikan pelaku bisnis properti. Mempermudah melakukan perijinan, penyediaan lahan dan membuka akses terhadap pengadaan material murah bisa diupayakan pemerintah. Selain harus berusaha menekan BI rate agar bisa dipas-tikan tidak kembali mengalami kenaikan.
Dari segi kredit perumahan dalam negeri, untuk melindungi konsumen yang memiliki tunggakan kepada Bank dengan bunga tinggi akibat kenaikan BI rate seka-rang ini. Pemerintah seharusnya bisa membuat klasifikasi pembagian segmen-tasi kelas masyarakat yang bisa dilindungi dengan meneerapkan kredit tetap selamabeberapa tahun ketika krisis ini. Tentunya kredit RSh harus didahulukan agar beban masyarakat tidak terlalu berat.
Ancaman gejolak ekonomi dunia yang sebagian orang mengatakan sangat menakutkan. Tidak akan terjadi kepada bangsa ini apabila setiap kebijakan bertum-pu pada itikad baik membangun keman-dirian bangsa dan semua pihak bisa saling percaya untuk sama - sama mengoptimal-kan setiap potensi yang ada di negeri ini.
Krisis Keuangan Amerika tak Pengaruhi Industri Properti
Krisis keuangan di Amerika Serikat yang terjadi sekarang tidak berpengaruh langsung terhadap industri properti di dalam negeri. Alasannya, karena sistem perbankan di Amerika berbeda dengan sistem per­bankan di Indonesia.
Meningkatnya kredit kepemilikan rumah atau KPR yang terjadi sekarang merupakan dampak krisis keuangan global. Tapi keadaan ini hanya sebentar agar sistem perbankan di dalam negeri tetap kuat, ken-dati proyek properti komersial terganggu, namun untuk proyek perumahan tidak ter­lalu terpengaruh suku bunga KPR yang kini mencapai 17% hingga 18%.
Bunga tersebut diyakini akan se-gera turun bersamaan dengan langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan BI rate pada bulan November mendatang agar likuiditas bank tidak terus mengering. Selain itu, sikap konsumen dan nasabah di Indonesia berbeda dengan perilaku konsumen dan nasabah di Amerika Serikat.
Orang Amerika lebih royal dan ce-roboh dalam berinvestasi. Begitu juga sis­tem perbankan di Indonesia lebih kon-vensional dibandingkan di Amerika Serikat yang lebih banyak bank investasi.

Prospek Pasar Properti Indonesia 2009 Diambang Bayang - bayang Kehan-curan Ekonomi Global
Diperkirakan krisis ekonomi Amerika akan terus berlanjut hingga akhir Desember 2008 sekalipun disuntik dana sebesar 700 miliar dollar kepada bank -bank dan lembaga keuangan lainnya yang telah bangkrut, bisa jadi krisis moneter kedua akan terjadi di Indonesia.
Namun pergerakan kurs dollar ter­hadap rupiah nyaris menembus Rp. 10.000 patut dicermati. Pernyataan Sri Mulyani memang melegakan kalangan pengusaha dan masyarakat Indonesia. Mengenai prospek pasar properti di Semester per-tama 2009, pasar akan berjalan lambat.
Itupun hanya di level menengah ke atas baik residential, apartement dan commercial area. Konsumen akan melihat tingkat suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Aset (KPA).
Yang paling dikhawatirkan adalah untuk level menengah kebawah yaitu Rumah Sederhana Sehat (RSHat). Kaitan-nya, karena RSHat hingga saat ini masih disubsidi oleh pemerintah.
Saat ini saja besaran subsidi RSHat sudah mencapai Rp. 729,5 miliar yaitu untuk 88.807 unit RSHat.
Bila kurs menembus level Rp. 10.000, maka sudah dipastikan cadangan devisa Indonesia akan semakin berkurang. Hal ini akan berdampak tidak baik terhadap besaran subsidi RSHat. Disam-ping itu, daya beli masyarakat kecilpun akan semakin berkurang.
Disinilah peran aktif swasta khu-susnya pengembang untuk turut peduli kepada masyarakat Berpenghasilan Mini­mum Rendah (MBMR) dengan berperan aktif kepada pemerintah dan bank - bank plant merah untuk bersama - sama mem­bangun RSHat.

Jangan Biarkan Industri Properti Mati
Krisis keuangan di Amerika Serikat yang terjadi sekarang sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap keseluruhan kegiatan industri properti di Tanah Air.
Berbeda dengan dampak yang dira-sakan akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997 - 1998. Banyak proyek properti yang berhenti seketika. Akibatnya, ketika itu terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Industri properti termasuk salah satu bisnis yang pertama terkena krisis sebagian besar pembiayaannya mengan-dalkan pinjaman dari perbankan nasional dan utang dari lembaga keuangan di luar negeri.
Dengan demikian, begitu perbankan di dalam negeri mengalamai krisis likuiditas, sementara kurs rupiah mengalami depre-siasi yang sangat tajam (dari Rp. 2.500 menjadi Rp. 11.000 per dollar AS), oto-matis sebagian besar proyek properti juga berhenti mendadak. Padahal, waktu itu in­dustri properti sedang tumbuh pesat.
Kredit yang disalurkan perbankan nasional ke sektor properti waktu itu sekita RP 70 triliun. Waktu itu juga banyak peru-sahaan pengembang yang terpaksa dima-sukkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di samping perusahaan perbankan yang juga dirawat di BPPN.
Ketika itu, industri properti ibarat mobil yang sedang lari kencang, kemudian berhenti secara mendadak. Meskipun tahun 1997 sektor properti terkena dampak lang­sung, industri ini justru bisa pulih lebih ce-pat.
Tahun 2001, aset - aset properti di BPPN sudah bisa disehatkan dan sebagian telah dapat dijual kembali sehingga kegia­tan proyek bisa berjalan kembali dengan normal. Yang terjadi sekarang berbeda, kri­sis keuangan di Amerika memang antara lain dipicu oleh kredit macet di sectorproperti (subprime mortgage), yang kemu­dian menghancurkan sejumlah lembaga keuangan terkemuka di Amerika.
Akibat kejadian ini, memaksa Pemerintah AS memberikan dana talangan (bail out) sebesar 700 miliar dollar AS. Sementara akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997 - 1998, pe­merintah harus mengeluarkan dana untuk rekapitalisasi perbankan sekitar Rp 600 triliun.
Turunkan Suku Bunga
Amerika merupakan salah satu Negara tujuan utama ekspor Indonesia. Dengan adanya krisis seperti sekarang, ak-tivitas eksppor ke negeri Paman Sam itu niscaya akan ikut terganggu, khususnya untuk produk tekstil (TPT).
Namun, pada umumnya kegiatan sector riil di Tanah Air khususnya industri property tidak terlalu terkena imbas krisis di AS. Untuk produk property komersial, seperti pembangunan sejumlah pusat per-belanjaan di Jakarta dan sekitarnya, me­mang ada yang mengalami penundaan hingga tahun depan.
Menurut catatan konsultan pro­perty PT. Property Advisory (Provis), penundaan dan pembatalan bebapa proyek pembangungan pusat perbelanjaan ke-mungkinan karena imbas krisis keuangan di AS yang mulai menjalar ke Negara -Negara lain, termasuk Indonesia. Kendati proyek property komersial terganggu, un­tuk proyek perumahan tidak terlalu terpe-ngaruh. Namun, industri property di Tanah Air bisa juga terganggu kalau suku bunga terus naik, sementara likuiditas dana di masyarakat sangat terbatas.
Suku bunga pinjaman perbankan di dalam negeri saat ini melonjak hinggal 17 - 18 persen per tahun. Hal itu antara lain dipicu oleh perang suku bunga antar bank.

Meski Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi penularan efek domino dari krisis keuangan di Amerika, sejumlah pe-laku usaha menganggap kebijakan yang diberikan pemerintah belum maksimal. Da­na penjaminan dari pemerintah bagi nasa-bah perbankan memang sudah dinaikkan, tetapi ini belum cukup. Pemerintah seha-rusnya menjamin seluruh dana nasabah yang disimpan di perbankan nasional. Jika perang suku bunga antar bank tidak segera diatasi dan lilkuiditas dana dibiarkan terus mongering, industri perumahan akan ikut terganggu dan bisa mati secara perlahan. Hal itu tidak bermasalah kalau kredit untuk modal kerja untuk pengembang naik men-jadi 14 persen pertahun atau kredit pemi-likan rumah (KOR) untuk konsumen naik menjadi 11 - 12 persen per tahun.
Akan tetapi, kalau kenaikan suku bunga pinjaman saat ini sudah mencapai 17 - 18 persen per tahun, sudah susah bagi dunia usaha untuk bisa menjalankan bis-nisnya. Pilihannya sekarang apakah BI mau tetap mempertahankan kebijakan suku bu­nga tinggi untuk menahan laju inflasi atau mau mengorbankan dunia usaha serta ma-syarakat yang membutuhkan KPR untuk membeli rumah. Jika Bank Indonesia (BI) tetap memilih mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, pemulihan dari keter-purukan sector riil nanti membutuhkan waktu lama. Kalau kegiatan usaha tergang­gu, ujung - ujungnya akan memicu terja-dinya gelombang PHK. Apalagi, industri property termasuk sector usaha padat karya.
Para pemangku kepentingan di sec­tor perumahan dan industri property tidak mengharapkan mimpi buruk seperti krisis ekonomi tahun 1997 - 1998 terulang kem-bali sekarang. Oleh karena itu, supaya in­dustri property di Tanah Air tetap bisa bertahan, para pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah dan Bank Indonesia(BI) hendaknya bisa melihat realitas dunia usaha dan kebutuhan riil masyarakat.

Bank Hindari Industri Pengolahan dan Properti
Perbankan menghindari penyalu-ran kredit ke sektor industri pengolahan dan properti, walaupun penyaluran kredit baru pada kuartal terakhir atau empat tahun 2008 diperkirakan akan meningkat. Data dari Bank Indonesia (BI) mengung-kapkan secara sektoral, mayoritas permin-taan kredit baru akan berasal dari jasa dunia usaha, pertambangan dan pengga-lian, perdagangan, hotel dan restoran. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya pe-ngetahuan likuiditas di pasar, semakin kompetitifnya persaingan usaha dan kebi­jakan suku bunga tinggi yang mem-pengaruhi pertumbuhan kredit.
Pengembang Optimistis Hadapi Krisis
Krisis global mulai dirasakan oleh pengembangan nasional, tetapi mereka tetap optimistis, berhati - hati dan mulai menyiapkan berbagai strategi dalam menghadapi kondisi saat ini. Pengembang sebaiknya menahan dahulu pembangunan proyek yang belum terjual sambil me-nunggu kondisi ekonomi menjadi stabil. Pemangku kepentingan industri properti tidak perlu panik karena perkembangan saat ini merupakan fenomena anomali pa­sar nasional akibat dampak krisis global. Secara industri, properti nasional tidak terkena dampak yang berlebihan karena pasar terisolasi dari industri global. Pe-laku properti nasional hanya perlu ber-sikap slowdown untuk melewati masa anomali yang menurut perkiraan tidak akan lebih dari setahun ke depan.
Pengusaha property Mampu Bertahan
Terkait dampak krisis keuangan global yang terjadi saat ini, dengan pengalaman di era krisis 1997 - 1998 lalu serta dukungan pemerintah, kalangan pe-ngusaha di sektor properti dan bidang lainnya diharapkan mampu bertahan. Ka­langan dunia usaha di Indonesia sudah sa-ngat berpengalaman dengan krisis, seperti yang pernah terjadi, sehigga bisa tetap optimistis terhadap perekonomian di Indonesia. Pengalaman ini bisa dijadikan modal untuk membangkitkan kepercayaan investor agar berinvestasi di Indonesia.
Sektor Properti Masih Aman
Meskipun krisis keuangan global telah memaksa sektor properti di Amerika berjalan lambat, namun berbeda dengan di Indonesia yang diprediksikan hingga akhir tahun sektor properti tidak akan terganggu. Pasalnya para investor belum menarik investasinya pada sektor properti, terlebih mereka para ekspatriat yang belum merasa terganggu. Sampai akhir tahun dipredik­sikan sektor properti tidak ada masalah dan hingga kini tidak ada gejala yang meng-ganggu, namun efeknya diperkirakan akan terasa pada pertengahan tahun. Saat ini sebagian para pelaku bisnis properti sudah mulai dihinggapi rasa ketakutan dengan pengaruh krisis global yang dinilai belum menemukan kepastian kapan berakhirnya dan bahkan sebagian investor sudah menahan target pembangunannya.
Sebagai upaya mencegah terjadinya pertumbuhan yang lambat pada sektor properti, pemerintah didesak untuk segera melakukan langkah - langkah proteksi bagi para pengembang. Krisis keuangan global diharapkan tidak berimbas pada sektor properti di Indonesia. Kenaikaan suku bu-nga akan merepotkan pengembang dan ter-utama pembayaran KPR. Karena itu, Bank Indonesia atau BI diharapkan mengatasi masalah   ini   dengan   mengatasi   ketatnyalikuiditas dan mempertahankan suku bu-nga acuan atau BI Rate.
Krisis Sudah Merembet ke Properti
Sejumlah proyek yang terpaksa dihentikan proses pembangunan itu meli-puti hotel, apartemen dan pusat perbe-lanjaan. Padahal proyek - proyek itu di-jadwalkan selesai tahun ini. Saat ini banyak investor asing yang menunda kon-trak kerja sama yang harusnya diteken pa­da akhir tahun ini. Penundaan ini sama artinya dengan pembatalan proyek secara terselubung, banyak proyek konstruksi skala kecil yang telah terhenti, sementara kontraktor besar menderita pengurangan proyek.
Krisis Naikkan Bahan Baku Pro­perti
Menurut Wakil Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI), harga bahan baku yang diproduksi di dalam negeri maupun di luar negeri, berpotensi terpengaruh oleh krisis ekonomi. Kenaikan bahan baku aki-bat dampak krisis ekonomi ini akan sema-kin menyulitkan sektor properti, setelah sebelumnya juga diterpa kenaikan harga bahan baku akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Di sektor properti ini, lanjutnya, tipe rumah kelas menengah ke atas yang paling besar dampaknya, se-dangkan untuk rumah kelas menengah ke bawah tidak terlalu berpengaruh karena sebagian sudah disubsidi pemerintah. Meski demikian, untuk saat ini krisis global yang terjadi belum berdampak ke-pada para pelaku sektor properti dalam negeri.

Properti 2009 Bakal Kendur
Associate Director PT Procon Indah Utami Prastiana menilai permintaan terhadap properti banyak terpengaruh olehsuku bunga dan pertumbuhan ekonomi. Karenanya ketika pertumbuhan ekonomi diramalkan rendah, sektor properti akan tertekan. Jika berdasarkan prediksi pemerintah akan terjadi pertumbuhan eko­nomi sebesar 6 persen di 2009 berarti masih ada peluang bagi sektor properti. Namun kalangan ekonomi memprediksikan pertum­buhan lebih rendah yang akan berdampak pula pada bisnis properti.
Tingkat okupansi di 2009 akan me-nurun 4 persen, jika rata - rata okupansi 2008 sebesar 86 - 87 persen maka tahun de-pan hanya 82 hingga 83 persen. Saat ini suplai properti baik perkantoran maupun ritel ke pasar cukup besar. Namun konsu-men menanggapinya beragam. Sementara dari sisi bunga, saat ini sedang tidak me-nguntungkan bagi bisnis properti. Lihat saja suku bunga kredit pemilikan apartemen (KPA) ataupun kredit pemilikan rumah (KPR) sekarang sudah di level 14 - 17 per­sen, untuk suku bunga pinjaman seperti konstruksi sudah mencapai 19 persen.
Pelambatan Properti
Dampak krisis global terhadap sek­tor baru terlihat dua hingga tiga kuartal mendatang. Namun, tanda - tanda pelam­batan di sektor properti mulai terlihat dam­pak krisis diprediksi lebih berat dirasakan oleh perkantoran dan kondominium. Pema-paran hasil penelitian konsultan properti PT. Property Advisory Indonesia (Provis), ada pembatalan investasi, penurunan pen-jualan kondominimun, serta penundaan pro-yek. Namum, penundaan itu, bukan peng-hentian proyek. Hasil riset Provis menun-jukkan, untuk kondominium, perbankan tak lagi mengucurkan kredit baru. Namun, hingga kini belum ada pembatalan proyek.
Bank Indonesia seyogianya menu-runkan suku bunga acuan Bank Indonesia agar suku bunga KPR dapat turun. Dengan demikian, masyarakat dapat menyerap properti seperti rusunami. Adapun di sektor perkantoran, pelambatan terjadi seiring krisis yang melanda perbankan dan perusahaan keuangan. Ini membuat peru-sahaan - perusahaan itu menunda ekspansi kantor baru. Data provis menunjukkan, total pasokan kumulatif kondominium pada kuartal III - 1998 hanya 22.700 unit, kuartal III - 2008 sebanyak 68.177 unit. Sementara pasokan baru kondominium da-lam sembilan bulan dihitung sejak kuartal III - 1998 sebanyak 3.000 unit, jauh lebih rendah dibandingkan rentang waktu yang sama kuartal III - 2009, yang mencapai 9.624 unit.
Sektor properti memiliki arti yang penting dalam pembangunan perekono-mian nasional, yakni dalam rangka penyediaan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat dan dalam rangka pe-nyerapan tenaga kerja. Selain itu sektor properti memiliki keterkaitan yang sangat luas dengan sektor - sektor lainnya se-hingga tumbuh dan berkembang. Sektor properti ini juga akan dapat menopang perkembangan dan pertumbuhan sektor -sektor yang terkait lainnya dan pada gi-lirannya akan membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi yakni pe-ngangguran dan juga kemiskinan akibat krisis keuangan global. Tahun 2008 me-rupakan era kebangkitan kembali sektor properti di Indonesia, pada tahun 1997 -1998 krisis moneter terjadi, nilai rupiah jatuh, suku bunga membumbung tinggi, maka sektor ini dilanda kemacetan dalam pembiayaan. Perbankan seketika meng-hentikan aliran dananya karena kekha-watiran gagal bayar.
Bahkan sektor properti di sebut -sebut menjadi salah satu penyebab dari krisis moneter yang kemudian berubah menjadi krisis ekonomi yang terjadi se-lama ini. Dan pada tahun 2008 kembali krisis keuangan di Amerika, yang membuat para investor menunggu sampai krisis tersebut bisa kembali pulih.
Titik Balik Industri Properti
Bunga kredit kepemilikan rumah yang tinggi saat ini dikhawatirkan akan menimbulkan kredit macet. Mengapa pela-ku bisnis properti optimistis hal tersebut tak akan terjadi ? Krisis keuangan global yang terjadi saat ini memaksa pemerintah seluruh negara di dunia mengkaji ulang kebijakan ekonominya. Tak terkecuali Indonesia. Kondisi ini pula yang membuat Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang ketat (tight monetary policy) untuk mengantisipasi laju inflasi yang semakin cepat. Maklum, dalam kondisi yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, seka-lipun ada penurunan inflasi, tetapi nilainya akan tetap tinggi. Hal ini tak lain dise-babkan adanya gejolak eksternal yang kini masih dalam tahap resolusi, yaitu krisis keuangan di AS. Semua itu menuntut kebi­jakan otoritas moneter dan sektor keuangan agar tetap menerapkan prinsip kehati-ha-tian.
Dalam Keputusan Rapat Dewan Gubernur, Bank Indonesia kembali menaik-kan suku Bunga BI Rate sebesar 25 bps dari 9,00 persen menjadi 9,25 persen. Ini kenaikan kelima kalinya sejak Mei 2008. Bahkan, saat ini BI Rate kembali naik men­jadi 9,50 persen. Kenaikan BI Rate sebagai akibat dari gejolak keuangan yang terjadi saat ini, yang membuat perbankan meninjau ulang seluruh kebijakan kreditnya, termasuk di bidang properti. Lantas Bagaimana de-ngan prospek kredit properti, terutama kredit pemilikan rumah (KPR) ?
Berdasarkan penelusuran, sejumlah pelaku bisnis properti di dalam negeri de-mikian optimistis akan tahan banting mele-wati krisis global. Mereka bahkan berang-gapan inilah saatnya bagi sektor propertymenemukan titik balik dari keterpurukan. Mencermati perjalanan siklus bisnis pro­perti di Indoensia dari tahun ke tahun, memang mengalami pasang surut. Pada era 1980-an, bisnis properti sempat men-capai puncak (booming), kemudian pada 1983 anjlok di titik terbawah, dan pada 1986 terimbas krisis minyak. Selanjutnya, pada 1989, sektor properti kembali me-nemui masa keemasannya. Sayangnya, kondisi itu tak bertahan begitu lama lan-taran pada 1993 kembali anjlok.
Bisnis kebutuhan papan ini kem­bali menemukan posisi puncaknya pada 1997, sebelum krisis ekonomi meng-hantam Asia. Begitu krisis menerpa, sek­tor properti terjun bebas ke level terendah. Secara perlahan, bisnis properti mulai bangkit pada 2000 hingga mencapai pun­caknya pada 2007. Berdasarkan sejumlah olahan data dari Indonesia Property Watch (IPW) (2007), pada triwulan kedua 2007 terdapat kenaikan pangsa pasar KPR se­besar 10 persen. Hal ini mendorong para konsumennya yang sebelumnya menunda pembelian rumah mulai merealisasikan pembelian rumah yang besarnya dapat mencapai 5 - 7,5 persen.
Indonesia Property Watch (IPW) mencatat, kenaikan pangsa pasar KPR 2007 sebesar 15 - 17,5 persen. Namun, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga tiga kali sejak 2006 - 2008 harus diakui ber-dampak terhadap daya beli masyarakat. Meski begitu, data Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) mencatat, pertumbuhan pembayaran kredit dan penjualan perumahan akan meningkat signifikan pada 2008. Pertumbuhan 2008 dipredik-sikan mencapai angka Rp. 20,52 triliun untuk 236.000 unit rumah. Angka prediksi ini meningkat cukup tajam hingga lebih 25 persen dibandingkan pada 2007 yang ha-nya senilai Rp. 16,6 triliun untuk 203.000 unit rumah. Menurut pengamat properti Panagian Simanungkalit, bahwa yang membuat bisnis properti akan kebal dan ta-han banting menghadapi krisis lebih dise-babkan kepada kemampuan masyarakat membayar KPR, di Indonesia lebih baik dibandingkan di negara lain.
Disamping itu, kekuatan modal pe-ngembang menjadi faktor utama menemu-kan kembali titik balik bisnis properti. Pengembang besar yang terlalu spekulatif itu bahaya. Sementara pengembang yang punya karakter akan eksis. Justru yang mati itu yang terlalu bernafsu. Pengembang yang lebih mengedepankan spekulasi dengan mengandalkan pinjaman dari perbankan yang akan terancam keberadaannya. Sebab, dengan kenaikan suku bunga, pengembang - pengembang tersebut akan kesulitan lantaran perbankan memperketat penya-luran kreditnya. Itulah mengapa hanya pe­ngembang besar yang memiliki kecukupan kapitalisasi yang akan mampu bertahan.
Justru ini akan positif kepada pro­perti sehingga orang belajar untuk tidak asal pinjam uang dan belajar untuk tidak ber-main di pasar modal. Prediksi bisnis pro­perti pada 2009 akan kelebihan penyediaan. Namun, hal itu tidak akan menyebabkan penurunan harga. Kelebihan penyediaan itu diperkirakan akan menekan harga. Menaik-kan BI Rate dilakukan sebagai salah satu strategi mencegah kenaikan suku bunga pada kuartal pertama tahun depan.
Selain itu, BI optimistis inflasi akan menurun hingga kisaran 6,5 persen hingga 7,5 persen. Namun, kebijakan ini menuai kontroversi. Sebagian kalangan menilai, saat terjadi krisis global di mana bank -bank sentral di negara lain beramai - ramai menurunkan suku bunga, BI justru menaik-kannya. Sontak, BI pun dituding tidak me­miliki kepekaan terhadap krisis (sense of crisis). Menteri Perencanaan Pembangunan Nasioan (PPN)? Kepala Bappenas PaskahSuzetta menyatakan, sempat terjadi tarik ulur antara Bappenas dengn Menteri Ke-uangan Sri Mulyani dan pihak BI, terkait kebijakan kenaikan BI Rate tersebut. Optimitis pertumbuhan ekonomi pada 2009 mendatang masih dapat tercapai. Pe-merintah menargetkan secara optimistis pertumbuhan ekonomi pada 2009 men-capai di atas angka 6 persen, secara mo-derat 5,8 persen, sedangkan target pesi-mistis adalah 5,5 persen sampai 5,8 per­sen.
Meski banyak pihak yang mem-prediksikan sektor properti akan terkena dampaknya mulai 2009 mendatang, tapi kalangan pelaku di bisnis ini tetap yakin akan mampu melewatinya. Ancaman kre-dit macet pada KPR memang perlu diwas-padai, terutama bagi pengembang segmen menengah ke bawah, apabila terjadi kenaikan bunga kredit KPR akan ber-bahaya. Dengan demikian, disarankan un­tuk pengembang segmen menengah ke bawah agar tidak menaikkan suku bunga terlalu tinggi. Ini bisa dilakukan melalui kerjasama antar pengembang dengan per­bankan. Banyak pihak menilai dampak krisis global dan kenaikan suku bunga akan sangat terasa bagi KPR tipe menengah. Sementara untuk menengah ke atas justru cukup aman karena didukung kapitalisasi yang cukup kuat dari pengembang.
Sementara untuk KPR bawah justru kebal krisis, mengapa demikian?, sebab bunganya disubsidi oleh peme-rintah. Memang untuk saat ini belum me-rasakan dampak krisis global secara lang-sung. Namun yang saat ini masih terasa adalah justru dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinaikkan oleh pemerintah beberapa wak-tu lalu.

Kesimpulan
Seperti apa yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP REI perihal pengaruh krisis keuangan global yang diharapkan tidak berimbas pada sektor properti di Indonesia. Dengan kenaikan suku bunga se-bagai dampak dari krisis tersebut akan merepotkan pengembang dan terutama pembayaran KPR. Kalau mendengar komentar tersebut untuk sementara waktu bisa melegakan. Tetapi apa memang de-mikian keadaannya. Coba kita amati per-gerakan harga BBP beberapa waktu yang lalu, sedikit perubahan saja sudah mem-bawa imbas yang luar biasa terhdap pere-konomian kita dan ini merupakan dampat nyata dari kondisi perekonoian global. Kondisi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir dengan terus naiknya BI rate, mem-buat beberapa bank terlihat lebih berhati -hati dalam memberikan kredit dan sebagai dampak lanjutan para konsumen juga kha-watir dengan tingginya suku bunga. Naik­nya suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 8,75 persen ber-potensi menekan industri properti yang saat ini harganya terus melambung karena ke­naikan harga bahan bangunan.
Kenaikan yang terjadi ini akan ber-dampak kesektor mana saja?. Yang lebih di-khawatirkan kalau suku bunga naik mele-bihi harga BBM, dan atau harga BBM ikut serta mengalami kenaikan. Harapannya adalah Bank Indonesia mengambil kebi-jakan dengan mengatasi ketatnya likuiditas dan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate. Bagaimana kebijakan BI da­lam menjadi dan mengatasi ketatnya likuiditas dan memprtahankan suku bunga? Kita tunggu saja langkah - langkahnya dalam beberapa hari kedepan. Tetapi dengan berbekal pengalaman tahun 1998 kemarin, kita memang harus cepat mengan-tisipasi jangan sampai kondisi krisis tersebut memperparah       perekonomian Indonesia.
Daftar Pustaka
Anonim, "Jangan Biarkan Industri Properti Mati, www.ciptapa-ngan.com, diakses tanggal 20 Desember 2009.
_, "Krisis Global Berpengaruh terhadap Sektor Properti, www.bis nis.com, diakses tanggal 1 Desember 2009.
_, "Pengembang Optimistis Hadapi Krisis", www.bisnis.com, diakses tanggal 1 Desember 2009.
Anonim, "Titik Balik Industri Properti", www.seputar-indonesia.com, diakses   tang-gal    10   Desember 2009.
__, "Prospek Pasar Properti Indonesia 2009 diambang Bayang - bayang Kehancuran Ekonomi Global", www.infoProperti Ter kini.com, diakses pada 8 Maret 2009.
__, "Krisis Naikkan Bahan Baku Properti", "Krisis sudah Merem-bet ke Properti", "Properti 2009 Bakal Kendur", diakses tanggal 22 Oktober 2009.
__, "Pelambatan property", www.kompas.com,diakses tanggal 10 April 2009.
Ilham M. Wijaya, "While Financial Crisis Risking The Property Indonesia", www.proil hamblogspot.com, diakses tang-gal 1 ovember 2008.